Di sebuah kota besar yang padat penduduk, hiduplah seorang preman
yang sudah berkali-kali melakukan perbuatan jahat dan keji. Loreng,
begitu orang mengenalinya. Konon pria ini sudah sering keluar masuk
penjara. Tubuhnya dempal dan berkulit hitam. Rambut keriting, agak
gondrong dengan beberapa bekas luka mengerikan ada di wajah dan
lengannya.
Ia sering memalak orang-orang yang dianggapnya lemah.
Sehari ia bisa dapat Rp 200 ribu dan bila ia sedang merampok namun tak
terciduk polisi, Loreng bisa memegang hingga dua juta di saku rompi
kulitnya yang bau rokok. Ia akan tertawa girang setengah serak dengan
komplotannya. Namun bila ia terciduk oleh polisi, maka ia harus bertahan
di dalam penjara. Syukur bila ia disegani oleh penghuni selnya, namun
bila ia menemukan lawan lebih kuat, kadang Loreng bisa babak belur di
sana. Baru sebulan lalu Loreng bebas dari penjara, setelah untuk keenam
kalinya ia masuk dalam bui.
Meski begitu, Loreng tidak kapok.
Rokok masih menjadi kembang gulanya, bir masih menjadi air putihnya.
Hidupnya masih bergantung pada jati dirinya sebagai preman. Kadang ia
ingin insyaf dan menjadi tukang ojek atau buruh. Namun keinginan itu
jatuh bangun hingga jatuh dan belum pernah bangun lagi. Dunia hitam
masih begitu menggoda baginya.
Sebenarnya, Loreng punya anak dan
istri. Namun ia tak ingin pulang kepada mereka karena pernah
menelantarkannya sejak 15 tahun lalu saat anak mereka masih balita. Ia
masih mencintai mabuk-mabukan dan judi, ia yakin tak akan mungkin
diterima di rumahnya kembali. Kini Loreng bermukim di belakang pasar
tradisional, dekat wilayah agak kumuh. Rumahnya hanya berupa susunan
triplek dan kardus, lembab dan kotor. Tapi cukup untuknya sekedar tidur
bila tidak sedang beraksi.
Loreng kini tak sekuat dahulu. Karena
rokok dan bir sudah mulai membuatnya rapuh. Tidur di tempat yang
lembab, dingin dan sering berpolusi membuatnya sering batuk parah. Tak
ada yang merawatnya, makan pun mulai tak teratur. Karena tubuhnya mulai
ringkih ia mulai gentar untuk terlalu sering melakukan pemalakan di
terminal maupun pinggiran jalan.
Suatu ketika saat bangun tidur,
entah mengapa ia begitu rindu dengan istri dan anaknya. Dengan tubuh
yang agak demam dan sedikit uang sisa kemenangannya berjudi, hari ini ia
hendak melihat tempat tinggalnya. Ia naik bus menuju ke kota di mana ia
pernah tinggal dan merajut mimpi bersama istrinya. Sepanjang jalan, ia
mengenang masa-masa indah berpacaran bersama istrinya. Hingga mereka
menikah dan akhirnya PHK membuat Loreng putus asa dan menjadi seperti
ini.
Saat tiba di depan gang tempat ia tinggal, ia merasa tempat
ini tak berubah. Ia mencium aroma batu arang sisa orang berjualan sate
dari warung sate di samping gang. Disambut ayam-ayam peliharaan
pensiunan TNI yang sekarang pun masih duduk di depan rumahnya. Ia
berjalan dan mencium harumnya aroma tradisional kampung halaman. Satu
belokan lagi dan ia akan melihat rumahnya di ujung jalan.
Namun
langkahnya terhenti sejenak. Ia melihat ada sebuah mobil mewah di depan
rumah yang ia kenali sebagai rumahnya. Apakah rumahnya sudah ditempati
orang lain? Loreng mendekati rumah tersebut perlahan-lahan dan mengintip
dari balik semak dan pohon. Mobil mewah itu kini tepat di depannya dan
ia melihat sepasang anak muda sedang bercengkrama dengan bahagia di
depan serambi rumahnya.
Tak lama muncullah wajah yang ia kenali
sebagai istrinya, namun alangkah kagetnya ia karena wanita itu
menggandeng pria lain. Loreng mendengar mereka bercengkrama, ia kemudian
menyadari bahwa pria itu adalah suami istrinya kini. Lalu kedua anak
muda itu sepertinya adalah putra Loreng dan pacarnya. Tanpa sadar Loreng
kadang ikut tersenyum melihat senyum mereka, namun kemudian ia sadar
bahwa meski hanya beberapa meter, Loreng dan keluarganya sudah terpisah
sekian jauh.. sekian lama.
Loreng tertunduk. Tentu saja sang
istri sudah memilih pria lain untuk membahagiakannya. Dan sepertinya
mereka sudah hidup lebih terjamin dan sejahtera, dengan uang yang lebih
halal, bukan dengan uang hasil judi. Sambil sedikit terbatuk-batuk,
Loreng membalikkan langkahnya. Tak ada yang tahu ia pernah kembali lagi
ke rumah itu, namun pergi lagi dengan langkah gontai.
Matahari
makin menyengat, ternyata sudah adzan Dzuhur. Loreng terlalu lelah untuk
langsung kembali ke rumah kardusnya yang kotor. Ia pun memutuskan
istirahat di masjid dekat gang rumahnya. Entah mengapa, ia pun rindu
dengan rumah Allah ini. Dulu Loreng dan istrinya juga menikah di masjid
ini, dengan berbagai mimpi dan senyum bahagia. Namun kini ia kembali,
sebagai orang yang kotor dan bermandikan dosa.
Preman kuat yang
tak lagi punya tempat pulang ketika ia menua dan sakit-sakitan itu
tiba-tiba menitikkan air mata. Sambil terbatuk-batuk yang semakin parah,
ia menuju tempat wudhu. Seorang bapak menghampirinya dengan sedikit
cemas, "Sakit, Pak? Rumahnya di mana?"
Loreng hanya menggeleng
dan mengambil wudhu. Ia ingin ikut sholat berjamaah bersama orang-orang.
Ia mengambil shof terdepan dan mengikuti sholat dengan khusyu'.
Sepanjang sholat ia menitikkan air mata dan sesekali batuk. Ia menyesali
kehidupannya kini yang sendiri dan hampa, menyesali perbuatannya pada
istri dan anaknya, serta menyesali hidupnya yang tanpa makna. Dalam
untaian doa dia memohon ampun kepada Tuhan.
"Ya Allah, aku telah
menghabiskan hidupku dengan berbuat jahat pada orang lain. Aku telah
menelantarkan anak dan istriku. Perbuatanku tak dapat dimaafkan. Namun
Engkau adalah Allah Yang Maha Mengampuni. Mohon ampuni dosaku dan
lindungilah selalu keluargaku. Jangan biarkan anakku putus asa dalam
kehidupannya dan menjadi sepertiku.Jadikanlah dia anak yang soleh dan
menjaga ibu, istri dan anaknya. Mohon ampun, Ya Allah. Aaamiiin...
Aaamiiin... Ya Robbal Alamin.."
Begitulah Loreng mengucap doa
kemudian ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Selama beberapa detik
ia batuk sekali dan mengerang dengan sedikit keras. Kemudian tubuhnya
tersungkur di atas tempatnya berdoa. Beberapa orang yang masih berada di
masjid terkejut dan akhirnya menghampiri pria tersebut.
Itulah
doa terakhir Loreng sang preman kota besar. Di saat terakhirnya ia hanya
ingin memohon ampun dan perlindungan untuk anak dan istrinya, karena ia
tak pernah melakukannya selama ini. Loreng dikabarkan meninggal dengan
senyuman sebelum ia masuk ke liang lahat.
0 comments:
Post a Comment